Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur
Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa
diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap.
|
Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu
disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup
diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan
mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa
Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk
mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama
menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut
"Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri
melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri
mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah
yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh
jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus
dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang
berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki
jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat
melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin
timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang
ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang
grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan
artha dan kama berdasarkan Dharma.
|
Menyucikan Diri
|
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna
memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka
memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
"Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang
subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha
karma pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian banyaknya semua
mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat
berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam
perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di tas, karma hanya dengan
menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara
sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh
kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau
anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan
suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam
Slokantara.
Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan
sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang
Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan
yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista,
cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan
jelas.
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan
untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan
berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma
Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja
atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga
martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan
lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar
pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi seperti
sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam
menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak
menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat
tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi
nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan
fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.
|
Makna dan Lambang
|
UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan
adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses
upacara agama yang disebut "Mekala-kalaan" (natab banten), biasanya
dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah
(tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan "Kala
Bhucari" sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.
Makala-kalaan berasal dari kata "kala" yang berarti energi. Kala
merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri
sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa
disebut dalam "sebel kandel".
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana
penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala
hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan
mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala
Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan
perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan
benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari
pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
|
Peralatan Upacara Mekala-kalaan
|
1.
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung
adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini
bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan,
ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi
berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai
Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin
wanita.
2.
Kelabang Kala Nareswari (Kala
Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
3.
Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
4.
Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
5.
Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12
berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya
Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis
sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara
penyucian tersebut.
Dari segi
spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang
pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari
Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
6.
Tegen - tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan : - batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis. - Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma - Periuk simbol windhu - Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi) - Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
7.
Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
8.
Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
9.
Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
10. Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek
simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk)
sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita.
Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat
di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian
diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa
ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
11. Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. |
Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan
dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan "angelus
wimoha" yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad
menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa
lahir anak yang suputra.
Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena
akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi
Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara
pepamitan ke rumah mempelai wanita.
SUMBER : http://www.undanganku.info/sekilas-perkawinan-adat-bali.html
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar